Pages

Kamis, 08 Maret 2012

Benarkah Kitab Maulid Al-Barzanji, Al-Burdah, dan Ad-Diba’i Kitab Syirik ?

Dari “Kenapa Takut Bid’ah?”Alhamdulillah Puji puja dan sukurku tak henti-hentinya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam ini.
Qashidah Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Daiba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah pujian terhadap Rasulullah yang ‘keblabasan’, karena di dalamnya tercatat ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah qashidah sebagaimana berikut:

يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ فَأَغِثْنِي وَأَجِرْنِي
فِي مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ يَا غِيَاثِ يَا مَلاَذِ

“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan dari Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.Wahai penolongku, wahai tempat berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”Dua qashidah tersebut memberikan pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan sifat sebagai Mujir (penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat berlidung). Dan hal tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang menyekutukan Allah. Karena menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di sematkan pada Allah dan bukan kepada makhluk.
Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga kata tersebut, harus difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq (yang di ciptakan) sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah bentuk syirik kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq, adalah Dzat yang dapat memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak mempunyai daya apa-apa untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang lain. Begitu juga, Allah al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada makhluk, namun makhluk sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini yang dii’tiqadkan oleh segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.Manusia, termasuk Rasulullah dan lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.
Sekedar contoh, jika kita minta pertolongan atau meminta perlindungan kepada seseorang karena kita sedang kesusahan, dirundung marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya, apakah berarti kita telah musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta perlindungan langsung kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami antara kedudukan khaliq dan makhluq diatas!?
Selanjutnya akan kita kupas ketiga kata tersebut:
Kata MujirLafaz mujir bukan termasuk Asma’ul Husna (Nama-Nama Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat hadits tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir. Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat yang kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi (langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits shahih. Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 88 Allah berfirman:

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 

“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi (menyelamatkan) tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.”
Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah berfirman:

وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ

“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya.”
Kedua ayat tersebut memberikan pengertian bahwasannya sifat mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada Allah, akan tetapi selain Allah juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya, kata mujir bisa saja disifatkan pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain Allah seperti Rasulullah atau yang lain, pertolongan yang diberikan adalah kadar kapasitasnya sebagai manusia atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu seperti memintakan syafaat umatnya supaya tidak disiksa oleh Allah atau syafa’at supaya mendapatkan ampunan dari Allah dan lain-lain. Sama halnya dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di sematkan pada Rasulallah, selain kedua kata tersebut juga termasuk asma’ul husna bagi Allah. Dan keduanya mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan makhluk.( Mengenai pembahasan memohon syafa’at setelah Rasulullah wafat, lihat secara khusus dalam kitab At-Tahdzir ‘an al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab al-Hiwar hal 141 dengan di sertai dalil-dalilnya yang kuat. Hal ini merupakan bantahan terkait dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya adalah Abdullah bin Mani’ pengarang kitab Hiwar ma’a al-Maliki- bahwa memohon syafaat Rasulallah setelah beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).
Sayyid Hasyim ar-Rifa’i saat menjelaskan kemampuan Rasulullah dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan para manusia (dalam shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi berbagai kebutuhan dan menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat melakukannya dengan tanpa bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang yang bodoh. Sedangkan menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah nisbat majazi (nisbat yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz aqli).
Kata GhiyatsAsma ghiyats (al-Mughits) banyak diakui sebagai salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma ghauts (al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)
Artinya, sebagaimana Allah yang menyandang sifat ghauts, selain Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga bisa menyandang sifat tersebut, namun dalam koredor kapasitasnya sebagai seorang makhluq. Dengan begitu, sifat ghauts yang dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan lain dari segala kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh Rasulullah, seperti memintakan syafa’at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan lain-lain.Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir disebutkan:

لاَ يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ

“Aku tidak dibuat untuk itighatsah, tapi yang dibuat istighatsah adalah Allah.”
Hadits ini kerap sekali di buat dalil tentang keharamannya melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah oleh mereka orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun membuat dalil hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika yang di maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak, niscaya akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang juga melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do’a kepada beliau. Dan Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh penta’wilan dan penjelasan.
Menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut bertujuan menetapkan hakikat tauhid dalam pondasi i’tikad (aqidah) yang sebenarnya, yakni bahwasannya al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara hamba hanya berkapasitas sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah dalam hadits diatas bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar tidak meminta kepada hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya, seperti memasukkan ke dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung mati husnul khatimah.
Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat di sifati mughits adalah dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan berikut:

وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya dan matilah musuhnya itu.”
Dalam hadits shahih tentang doa istisqa’ (meminta hujan) yang masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988), Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim (no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain disebutkan:

اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا

“Wahai Allah, berilah kami hujan yang dapat menolong.”
Hadits doa meminta hujan tersebut menggunkan kata “mughits” (hujan yg memberikan pertolongan) serta yang mengajarkan adalah Rasulullah.
Kata MaladzMaladz artinya, Rasulullah merupakan ghiyats bagi orang-orang yang meminta perlindungan atau menjadi tempat berlindung saat Allah sedang murka. Pengertian kata ini juga sama dengan 2 kata di atas, artinya Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan beliau. Termasuk perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk merasa keberatan dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk sesegera mungkin dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam, kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.”
Itulah jawaban yang harus disampaikan, karena ucapan para penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah (puji-pujian Nabi) seperti al-Barzanji, ad-Diba’i dan al-Bushiri dalam al-Burdah adalah sudah benar adanya dan tidak menyelisih dari ajaran Rasulullah. Selain itu, mereka juga muslim taat yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau syubhat dan syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di mata mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!

Sabtu, 03 Maret 2012

Sikap Salafus Shalih dalam mengelola perbedaan pendapat, keragaman dan madzhab

AlhamduliLLAAHi wash Shalatu was Salaamu ‘ala RasuliLLAAHi wa ‘ala ‘alihi wa ash-habihi waman walah.

Ikhwah wa akhwat fiddin hafizhakumuLLAAH, seringkali ketika mengisi taujih dan menjelaskan berbagai dalil yang berbeda di kalangan salaf, ada saja ada orang yang bertanya kepada ana: “Ustadz, di antara pendapat-pendapat yang
dikemukakan tadi yang paling shahih yang mana?” Atau: “Ana tidak perlu tahu tentang berbagai pendapat tersebut, ana cuma ingin tahu satu yang benar yaitu yang sesuai dengan Salaf.”

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAH, dari berbagai pengalaman tersebut nampaklah bagi para pencari ilmu, bahwa sebagian besar masyarakat kita belum mengetahui atau bahkan terlanjur dicekoki pemahaman yang keliru, bahwa seolah-seolah kalau sudah pendapat Salaf maka itu hanya satu, atau kalau kembali pada pendapat Salaf maka tidak boleh ada perbedaan pendapat.

Pemahaman seperti sama sekali amat keliru dan amat berbahaya, sehingga sebagian kelompok kemudian memanfaatkan jargon “kembali kepada Salaf” menjadi “kembali ke kelompok kami”, atau “kembali kepada fatwa Syaikh Fulan dan Syaikh Fulan, kalau selain itu bukan mewakili Salaf”. Hal ini tentu saja jauh sekali dari kembali kepada manhaj As-Salafus Shalih yang Syamil, Kamil dan Mutakamil.

Mengapa demikian? Karena jika kita jujur kembali kepada pemahaman Salaf, maka kita akan dapati seabreg ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan mereka, kitapun akan dapatkan setumpuk dalil-dalil dimana sebagian menguatkan
sebuah dalil dan sebagian lagi menguatkan dalil yang lainnya. Sehingga hendaklah kita bersikap adil, apakah kita memang mengajak kembali kepada Salaf, atau kembali kepada Salaf “yang sesuai dengan tarjih kita” karena kedua hal tersebut tentu saja maknanya dan implikasinya amat berbeda kepada Shahwah Islamiyyah (kebangkitan Islam) saat ini.

Ikhwah wa akhwat ‘azzakumuLLAAH. Jika kita benar ingin merujuk kepada Salaf, maka pelajarilah dan telitilah berbagai fatwa mereka, yang kesemuanya menyatakan bahwa ikhtilaf sebagiannya adalah terlarang namun sebagian yang lainnya bahkan merupakan sebuah kemestian (hatmiyyah). Hal tersebut karena perbedaan pendapat adalah sunnatuLLAAH, sebagaimana firman ALLAAH SWT:

“Jikalau RABB-mu menghendaki, tentu DIA menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh RABB-mu (yaitu para rasul as), dan untuk (perbedaan pendapat) itulah ALLAAH menciptakan mereka, kalimat RABB-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya AKU akan memenuhi neraka Jahannam itu dengan Jin dan Manusia (yang durhaka) semuanya.”[1]

Sebagian orang yang tidak mengerti menganggap bahwa makna: “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat” dalam ayat itu adalah dalil wajibnya kita keluar dari berbeda pendapat, pemahaman ini adalah keliru, karena makna yang benar bahwa yang dikecualikan tersebut hanyalah para Nabi dan Rasul AS, adapun selain mereka pastilah senantiasa berbeda pendapat, demikianlah menurut tafsir ulama Salafus Shalih;

Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya: “Perbedaan dan kemajemukan dalam syariat merupakan keadaan yang tidak bisa tidak dalam penciptaan makhluk, sehingga makna: Dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka, maka ikhtilaf merupakan ‘illat (alasan) keberadaan wujud makhluk ini.”[2]

Kemajemukan dan perbedaan pendapat tersebut adalah motivator untuk menghadapi ujian serta untuk berkompetisi dan berkarya di antara masing-masing pihak yang berbeda pendapat tersebut, karena jika hanya satu ummat saja maka tidak akan ada lagi motivasi untuk berlomba, yang merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT yang lainnya: “Untuk tiap-tiap ummat di antara kalian KAMI berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya ALLAH menghendaki niscaya kalian dijadikan-NYA satu ummat saja, tetapi ALLAH hendak menguji kalian terhadap pemberian-NYA kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…”[3]

Bahkan di kalangan non muslimpun ALLAH SWT tidak menyamaratakan mereka, sebagai semua mereka adalah jahat dan semua memusuhi kaum muslimin semua, bahkan sebaliknya ALLAH SWT Sang Maha Adil menyatakan dengan keadilan-NYA bahwa di antara mereka (non muslim) terjadi juga perbedaan dan ada di antara mereka yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman-NYA: “Mereka itu tidak sama, di antara ahli-kitab-kitab itu ada golongan yang berlaku lurus…”[4], dalam firman-NYA yang lain: “…dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kalian lihat mata-mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran al-Qur’an…”[5]

Mengapa Bisa Terjadi Perbedaan Dalam Penetapan Hukum?

Jika kita mempelajari fiqh maka kita akan dapatkan bahwa tentang kehujjahan dalil syar’iyyah itu sendiri ada 2 jenis:

1. DALIL YANG DISEPAKATI KEHUJJAHANNYA: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, yang didasarkan dari QS an-Nisa’, 4/59. Dalam ayat tersebut taat pada ALLAH bermakna taat pada Al-Qur’an dan taat pada Ar-Rasul diartikan taat pada As-Sunnah, dan taat pada ‘Ulil-Amri (bersifat muqayyad/terbatas) adalah taat pada pemerintah atau ulama atau pada kesepakatan mereka (ijma’). Hal ini diperkuat dengan dalil hadits tentang af’al Abubakar RA, dimana jika ia tidak mendapat hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah[6]. Sementara Qiyas ditetapkan berdasarkan hadits Mu’adz ra ketika diutus ke Yaman[7].

2. DALIL YANG DIPERSELISIHKAN KEHUJJHANNYA: Istihsan (mengembalikan yang khusus ke yang umum), mashalih-mursalah (menetapkan hukum demi kemaslahatan), istishab (memilih yang lebih disukai), ‘urf (adat-istiadat), madzhab-shahabiy (ittiba’ pada sebagian sahabat ra), syar’un man qablana (syariat ALLAH SWT sebelum nabi Muhammad SAW)[8].

Ikhtilaf Dalam Hal yang Qath’iy dan Zhanniy


Langkah pertama mensikapi ikhtilaf adalah membedakan apakah masalah tersebut bersifat ushuliyyah atau furu’iyyah? Apakah muhkamat atau mutasyabihat? Apakah masalah diniyyah atau dunyawiyyah? Jika masalah yang diperselisihkan merupakan masalah ushuliyyah seperti wajibnya rukun iman, atau masalah furu’iyyah yang qath’iy (pasti) seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, hajji, jihad, atau haramnya zina, liwath, mencuri, khamr, riba maka berbeda pendapat dalam hal yang sudah jelas dan qath’iy ini mutlak diharamkan.

ALLAAH SWT mencela berbeda pendapat dalam masalah seperti ini dalam firman-NYA: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [9]
Nabi SAW bersabda: “Sungguh kehancuran suatu bangsa sebelum kalian disebabkan perbedaan mreka terhadap KitabuLLAAH.”[10]
Ibnu Mas’ud berkata: “Berbeda pendapat itu buruk.”[11]
Berkata Asy-Syafi’i: “Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang berkaitan pada masalah yang ada dalilnya secara sharih (jelas) dalam KitabuLLAAH dan Sunnah rasuluLLAAH SAW.”[12]

Maka sikap kita dalam masalah ini adalah harus jelas dan tegas (kecuali dalam hal-hal yang dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar), dan sikap tegas dalam hal ini dihitung sebagai jihad fisabiliLLAAH[13], dan tugas para nabilah menjelaskan kata akhir dan keputusan mana yang benar dan mana yang salah dalam perbedaan pendapat seperti ini, sebagaimana dalam firman-NYA: “Dan KAMI tidak menurunkan kitab-kitab ini kepadamu kecuali agar kamu menjelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka perselisihkan itu, juga agar menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”[14]

Adapun perbedaan pendapat dalam masalah yang zhanniy (masih bersifat dugaan kuat, tidak pasti) maka sepanjang perbedaan tersebut tidak syadz (nyleneh) dan memiliki dalil yang kuat maka yang demikian dibenarkan sekalipun dalam masalah aqidah[15], apalagi dalam masalah mu’amalah karena tidak ada dalil yang qath’iy[16].

Berkenaan dengan yang perbedaan furu’iyyah ini, berkata Imam Asy-Syafi’i: “Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan hujjah-NYA baik dalam kitab-kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang mengetahuinya. Maka ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara tegas dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.”[17]

Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sbb: “Perpecahan yang dilarang adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159) dan (QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu. Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam.”[18]

 Imam al-Qurthubi menambahkan: “Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT menciptakan mereka manusia.”[19] Lebih jauh Imam Ghazali menambahkan: “Bagaimana mungkin ummat akan bersatu mendengarkan satu pendapat saja, padahal mereka telah ditetapkan sejak di alam azali bahwa mereka akan terus berbeda pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), dan karena hikmah perbedaan itulah mereka diciptakan.”[20]

Imam Abu Hayyan at-Tauhidi menyatakan: “Tidak mungkin manusia berbeda pada bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan tidak sesuai pula dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu yang terus menerus membanyak sementara tidak berbeda-berbeda.”[21] Imam Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: “Telah ditetapkan dalam ushul-fiqh bahwa hukum-hukum syariat seluruhnya dapat diketahui disebabkan oleh adanya ijma’ bahwa seluruh mujtahid, jika zhan (kecendrungan terkuat menurutnya) mencapai suatu hukum tertentu maka itulah hukum ALLAH SWT bagi dirinya dan bagi para pengikutnya.”[22]

Perbedaan pendapat ini dinamakan sebagai perbedaan pendapat yang disyari’atkan (al-ikhtilaf al-masyru’), tafadhal para pencari ilmu membuka dan merujuk langsung pada kitab-kitab yang ana sebutkan, di antaranya sbb:

1. Al-Ikhtilaf Al-Ulama’, yang disusun oleh Imam Abi AbduLLAAH, Muhammad bin Nashr Al-Mirwazi (wafat th. 294-H).

2. Al-Ikhtilaf Al-Fuqaha’, karangan Imam Abi Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amaliy, digelari Imam At-Thabari (wafat th. 310-H).

3. Al-Awsath fi As-Sunan wa Al-Ijma’ wa Al-Ikhtilaf, karya Imam Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir An-Naisaburiy, digelari Ibnul Mundzir (wafat th. 318-H)

4. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Abil Walid, Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusiy, digelari Ibnu Rusyd (wafat th. 595-H).

5. Al-Mughniy Fi Fiqhil Imam Ahmad Ibni Hanbal Asy-Syaibaniy, oleh Abil Faraj, Imam AbdiRRAHMAN bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisiy Al-Hanbaliy, digelari Syamsuddin (wafat th. 682-H).

6. I’lam Al-Muwaqqi’in an RABBil ‘Alamin, Imam Muhammad bin Abubakr bin Ayyub bin Sa’d bin Qayyim, digelari Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751-H).

7. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al-Haqq min ‘Ilmil Ushul, Imam Abi ‘Ali, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin AbduLLAAH Asy-Syaukani Ash-Shan’ani, digelari Imam Asy-Syaukaniy (wafat th. 1255-H).

8. Dll.

(Bersambung Insya ALLAAH…)

___
Catatan Kaki:

[1] QS Hud, 11/118-119

[2] Lih. Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Darul Kutub al-Mishriyyah, juz-IX, hal 114-115)

[3] QS Al-Maidah, 5/48

[4] QS Ali Imran, 3/113-115

[5] QS Al-Maidah, 5/82-83

[6] HR Al-Baihaqi, dalam Al-Kubra’, X/114 juga dalam Sunan-nya, II/425 no.20838; Jam’ul Ahadits Lis-Suyuthi, XXV/146;

[7] HR Bukhari, VI/12 no. 1496; Muslim, I/151 no. 131

[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh

[9] QS Ali Imran, 3/105

[10] HR Muslim, Kitabul ‘Ilmi, no.2

[11] Adh-Dha’ifah Lil Albani, IV/75

[12] Ar-Risalah Lisy Syafi’i, hal. 560

[13] Ar-Raddu ‘alal Mukhalif, hal.39

[14] QS An-Nahl, 16/64

[15] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut masalah ini sebagai masalah2 ilmiyyah atau khabariyyah, lih. Majmu’ Al-Fatawa, XIX/204

[16] Bahrul Muhith, VI/240 dan Al-Ihkam, IV/162 [17] Ar-Risalah lisy Syafi’i, hal-560, Maktabah Ilmiyyah, Kairo, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir

[18] Al-Muwafaqaat lisy-Syatibi, juz-4, hal-121, 1

[19] Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 9, hal 114-115

[20] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab-kitab Al-Qushur Al-Alawi min Rasa’il Al-Imam al-Ghazali, Maktabah Al-Jundi, Kairo

[21] Al-Imtina’ wa Al-Mu’assanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq Ahmad Amin dan Ahmad az-Zain)

[22] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab-kitab Al-Qarafi wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim Shalah)
 Hujjah Landasan Ikhtilaf Dalam Syari’ah

a. Dalil dari Al-Qur’an:
“DIA-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (jelas), dan itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lainnya adalah (ayat-ayat) mutasyaabihaat (samar), adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan ALLAAH, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi RABB kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[1]”

Dalam ayat ini jelas-jelas ALLAAH Yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi menjelaskan bahwa IA menurunkan ayat Al-Qur’an tidak semuanya jelas dan tegas maknanya (muhkamat), melainkan ada yang samar dan tidak jelas (mutasyabihat), maka para ulama menyatakan bahwa diantara hukum-hukum fiqh itu ada yang manshush-‘alayhi (ditegaskan secara eksplisit) ada pula yang maskut-‘anhu (hanya bersifat implisit saja); ada yang qath’iyyat (bersifat pasti) ada pula yang zhanniyyat (belum pasti); ada yang sharih (jelas) ada pula mu’awwal (memungkinkan berbeda tafsirnya)[2].

Lebih jauh Fadhilatu Syaikh Al-Qaradhawi –hafizhahuLLAAH- menambahkan: Di dalam Al-Qur’an didapati lafazh-lafazh yang bersifat musytarak (bermakna ganda), ada pula yang majaz (kiasan), ada yang mengandung dalalatul-muthabaqah (arti tekstual) ada pula yang dalaltut-tadhamun (arti implisit), ada yang bersifat ‘aam (umum) ada pula yang khash (khusus), ada yang muthlaq (global) ada yang muqayyad (terbatas), ada yang menimbulkan penafsiran yang rajihah (kuat) dan ada pula yang marjuhah (kurang kuat)[3].

Pendapat beliau ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahuLLAAH- bahwa perbedaan pendapat ada 2 macam[4], ada ikhtilaf at-tanawwu’ (komplementer) ada ikhtilaf at-tadhadh (kontradiktif)[5], ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan tapi yang diambil dari sumber yang sama, seperti perbedaan dalam qira’at, tata cara adzan, doa iftitah, dan perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini semuanya bisa saja benar[6]. Termasuk dalam masalah ini adalah khilaf-shuri (bentuk), khilaf-lafzhi (kata) dan khilaf-i’tibari (makna).”[7]

Senada dengan ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam At-Thabari –rahimahuLLAAH-, berkata Abu Ja’far bahwa makna mutasyabihat adalah[8]: Bermacam-macam dalam tilawah, berbeda-beda dalam makna sebagaimana dijelaskan pula dalam ayat yang lain yaitu mirip bentuknya tapi berbeda-beda rasanya[9], juga dijelaskan dalam ayat yang lainnya lagi yaitu membuat samar sifatnya atau jenisnya[10]. Sehingga maknanya menurut beliau –rahimahuLLAAH- adalah: Berbeda-beda dalam bacaannya maupun juga dalam maknanya[11].

Berkaitan dengan ikhtilaf yang disebutkan oleh Imam Abu Ja’far di atas, telah disebutkan dalil secara shahih dari Ibnu Mas’ud RA sbb:

Dari Ibnu Mas’ud RA berkata: Aku mendengar seorang lelaki membaca Al-Qur’an dan aku mendengar Nabi SAW membaca berbeda dengan bacaannya, maka aku membawanya kepada Nabi SAW dan kuceritakan tentang bacaannya, maka aku melihat ketidaksukaan pada wajah Nabi SAW, lalu beliau SAW bersabda: “Keduanya baik, jangan kalian bertengkar, sesungguhnya ummat sebelum kalian bertengkar maka mereka binasa!”[12]

Berkata -Al-Allamah- Ibnul Wazir mengkomentari hadits ini[13]: “Perselisihan yang dilarang dan membawa kehancuran sebagaimana disebutkan hadits ini adalah yang disertai dengan ta’adiy (permusuhan), adapun yang tidak disertai ta’adiy maka dibolehkan, tidakkah beliau SAW bersabda kepada Ibnu Mas’ud: Keduanya adalah baik! … Maka perselisihan yang dibenarkan adalah yang disertai ilmu/hujjah dan tanpa disertai dengan permusuhan dan celaan terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Demikianlah jalan yang ditempuh oleh generasi Salafus Shalih dari Ahlul Bait, Sahabat dan tabi’in.” Selesai kutipan dari Ibnul Wazir –rahimahuLLAAH-.[14]

b. Dalil dari As-Sunnah:

Berkaitan dengan ikhtilaf yang disebutkan oleh Imam Abu Ja’far di atas, telah disebutkan dalil secara shahih dari Ibnu Mas’ud RA sbb:

Dari Ibnu Mas’ud RA berkata: Aku mendengar seorang lelaki membaca Al-Qur’an dan aku mendengar Nabi SAW membaca berbeda dengan bacaannya, maka aku membawanya kepada Nabi SAW dan kuceritakan tentang bacaannya, maka aku melihat ketidaksukaan pada wajah Nabi SAW, lalu beliau SAW bersabda: “Keduanya baik, jangan kalian bertengkar, sesungguhnya ummat sebelum kalian bertengkar maka mereka binasa!”[15]

Berkata -Al-Allamah- Ibnul Wazir mengkomentari hadits ini[16]: “Perselisihan yang dilarang dan membawa kehancuran sebagaimana disebutkan hadits ini adalah yang disertai dengan ta’adiy (permusuhan), adapun yang tidak disertai ta’adiy maka dibolehkan, tidakkah beliau SAW bersabda kepada Ibnu Mas’ud: Keduanya adalah baik! … Maka perselisihan yang dibenarkan adalah yang disertai ilmu/hujjah dan tanpa disertai dengan permusuhan dan celaan terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Demikianlah jalan yang ditempuh oleh generasi Salafus Shalih dari Ahlul Bait, Sahabat dan tabi’in.” Selesai kutipan dari Ibnul Wazir –rahimahuLLAAH-.[17]

c. Dalil dari Atsar Salafus Shalih:

Para sahabat ra dan ulama salaf biasa berbeda pendapat, sebagaimana diriwayatkan terjadinya ikhtilaf antara Imam Syafi’i dan Yunus Ash Shadafi, saat berpisah belum tercapai kesamaan, lalu Imam Syafi’i mendatanginya dan berkata: “Wahai Abi Musa, meski kita berbeda pendapat dalam satu masalah namun kita tetap saudara.”[18] Imam Adz-Dzahabi berkomentar: “Hal ini menunjukkan keulamaan dan kematangan Asy-Syafi’i.”[19]

Demikian pula ikhtilaf antara Imam Ahmad dan Imam Ali Al-Madani, hingga suara mereka berdua meninggi, sehingga orang-orang kuatir keduanya akan bersitegang, saat Ali Al-Madani hendak pergi, Imam Ahmad segera menyiapkan untanya[20].

Demikian pula antara Imam Malik dengan Imam Laits bin Sa’d, tetapi diakhiri dengan suasana sejuk dan saling memuliakan[21].

Demikianlah sikap orang-orang yang alim jika berbeda pendapat, berbeda dengan orang-orang jahil yang jika mereka berbeda pendapat berakhir dengan mencaci dan memaki[22], sehingga berkata Syaikhul Islam: “Seandainya tiap kali terjadi ikhtilaf dilanjutkan dengan tafarruq, niscaya tidak tersisa sedikitpun persatuan dan ukhuwwah Islamiyyah.[23]” Sehingga beliau –rahimahuLLAAH- menulis risalahnya yang terkenal: Raf’ul Malam ‘an A’immatil A’lam.

Sehingga dalam suatu atsar disebutkan: “Manusia masih dikatakan baik selama mereka berbeda-beda, karena jika mereka sama-rata maka mereka akan hancur.”[24] Hal ini karena perbedaan pendapat ini sudah merupakan watak manusia, sebagaimana hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya ALLAAH telah membagikan pada kalian perilaku kalian, sebagaimana IA telah membagikan rizqi kalian.”[25] Demikianlah sehingga kesaksian seorang yang berbeda pendapat dalam masalah furu’iyyah tetap diterima[26] dan keputusan hakim atas dasar ijtihadnya tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan dalil ataupun ijma’[27].

WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…

Batasan Bid'ah

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para ulama memang berbeda pendapat ketika mendefinisikan bid'ah. Definisi yang disodorkan oleh para ulama tentang isitlah ini ada sekian banyak versi.

Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid'ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis perbuatan yang baru atau diada-adakan, sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.

Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqih) jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Ke-Islaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid'ah.

Pertama, kecenderungan yang menganggap bahwa ibadah yang tidak terdapat di masa Rasulullah SAW sebagai bid'ah, namun hukumnya tidak selalu sesat atau haram.

Kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat.


Tapi kalau kita tarik garis umum, paling tidak ada dua kecenderungan ulama dalam masalah ini.

Kelompok Pertama


Mereka yang meluaskan batasan bid'ah itu mengatakan bahwa bid'ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.

a. Tokoh

Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi'i dan pengikutnya seperti Al-'Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah.

Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.

Dari kalangan Hanafiyah seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.

Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah mandub (sunnah), bid'ah makruh dan bid'ah mubah.

b. Contoh

Ada beberapa contoh yang bisa ditampilkan dalam masalah ini, antara lain:

    * Contoh bid'ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya.
    * Contoh bid'ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij.
    * Contoh bid'ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid.
    * Contoh bid'ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid'ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.


c. Dalil

Pendapat bahwa bid'ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut:

Perkataan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu:

Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini.

Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha' berjamaah di masjid sebagai bid'ah yaitu jenis bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik.

Hadits-hadits yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah seperti hadits berikut:

Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi'ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.


Kelompok Kedua

Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid'ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.

Di antara mereka ada yang mendifiniskan bid'ah itu sebagai sebuah jalan (thariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai thariqah syar'iyah.

a. Tokoh

Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi'iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.

b. Contoh

Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).

Perbuatan seperti itu bid'ah, karena pada hakikatnya menciptakan sebuah ritual agama yang baru, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

c. Dalil

Dalil yang mereka gunakan adalah:

Bahwa Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap di antaranya adalah fiman Allah SWT:

... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...
(QS. Al-Maidah: 3)

Juga ayat berikut:

dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An`am: 153)

Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid'ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut:

Klasifikasi Lain


Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua:

a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)

b. Bid’ah dalam agama, mengada-ada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak” (HR Muslim 1817)


Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah Perkataan

Bid'ah ini berkaitan dengan masalah I’tiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.

Kedua: Bid’ah dalam beribadah

Bid'ah ini misalnya melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:

    * Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan, dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu
    * Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
    * Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya di luar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
    * Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Allah dan rasul-Nya.

Kesimpulannya, kalau kita lihat banyak kalangan saling menuduh bid'ah kepada saudaranya sendiri, ketahuilah bahwa salah satu penyebabnya adalah kekurang-pahaman terhadap definisi bid'ah yang beragam.

Dan urusan vonis memvonis sebagai pelaku bid'ah ini akan sedikit berkurang seandainya di dalam diri tiap kita muncul kearifan serta keluasan wawasan. Setidaknya, kalau pun tetap diyakini sebagai bid'ah, maka cara yang digunakan untuk memberantas 'bid'ah' itu tidak boleh dengan cara yang bid'ah juga.

Saling mencaci dan memaki, apalagi sampai melakukan pemboikotan kepada saudara sendiri, tentu sangat bertentangan dengan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Mana pernah beliau SAW memaki orang lantaran dianggap sebagai pelaku bid'ah? Mana pernah beliau memboikot seseorang lantaran dituduh-tuduh sebagai pelaku bid'ah? Dan mana pernah Rasulullah SAW mengharamkan diri untuk menshalati jenazah seseorang karena dianggap pelaku bid'ah?

Yang haram dishalati di masa nabi SAW adalah orang yang kafir dan murtad. Bukan orang yang dituduh-tuduh sebagai pelaku bid'ah, dengan tolok ukur yang subjektif dan seenak selera sendiri.

Semoga Allah SWT menurukan ilmu, kearifan dan kesantunan pada diri kita semua dalam memperjuangkan syariatnya. Amien

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.