Dengan berkembangnya peradaban manusia,
berbagai kemudahan-kemudahan diciptakan untuk membuat manusia lebih praktis
dalam segala hal termasuk dalam beribadah khususnya shalt fardu. Saat ini kita
mengetahui banyak sekali diterbitkan jadwal waktu shalat dari berbagai instansi
maupun organisasi antara lain; Departemen Agama, PP Muhammadiyah, PP Persis, PP
Nahdatul Ulama (NU) dsb. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari kaidah
yang sebenarnya digunakan untuk menentukan waktu shalat yaitu "Pergerakan
Matahari " dilihat dari bumi.
“Sesungguhnya solat itu diwajibkan
atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu” (
Q.S. An-Nisa’ :103 )
“Dirikanlah solat ketika gelincir
matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh sesungguhnya solat
subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”.
( Q.S. Al-Isra’ : 78 )
Sebelum manusia menemukan hisab/perhitungan
falak/astronomi, pada zaman Rasulullah waktu shalat ditentukan berdasarkan
observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang
dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau
seing disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah
bayangan matahari.
Jam Surya atau Jam Matahari serta Tongkat Istiwa atau
Bencet
Dari sudut
pandang Fiqih
penentuan
waktu shalat fardhu seperti dinyatakan di dalam
kitab-kitab fiqih adalah sebagi berikut :
Waktu
Subuh
Waktunya diawali saat Fajar Shiddiq
sampai matahari terbit (syuruk).
Fajar Shiddiq ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang
mengikut garis lintang ufuk di sebelah Timur
akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer. Menjelang
pagi hari, fajar ditandai dengan adanya cahaya samar yang menjulang tinggi
(vertikal) di horizon Timur yang disebut Fajar Kidzib atau Fajar Semu
yang terjadi akibat pantulan cahaya matahari oleh debu partikel antar planet
yang terletak antara Bumi dan Matahari.
Setelah cahaya ini muncul beberapa menit kemudian cahaya ini
hilang dan langit gelap kembali. Saat berikutnya barulah
muncul cahaya menyebar di
cakrawala secara horizontal, dan inilah dinamakan Fajar Shiddiq.
Secara astronomis Subuh dimulai saat kedudukan matahari (
s° ) sebesar 18° di bawah horizon
Timur atau
disebut dengan "astronomical twilight" sampai sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat
(ufuk Hakiki / visible horizon). Di Indonesia
khususnya Departemen Agama menganut kriteria sudut s=20° dengan alasan
kepekaan mata manusia lebih tinggi
saat pagi hari karena perubahan terjadi dari gelap ke terang.
Waktu
Zuhur Disebut juga waktu Istiwa (zawaal)
terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan
sebutan Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa,
mengerjakan ibadah shalat (baik wajib maupun sunnah) adalah haram. Waktu Zuhur
tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke arah Barat.
Waktu tengah hari dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan
menggunakan algoritma tertentu. Secara astronomis, waktu Zuhur dimulai ketika
tepi piringan matahari telah keluar dari garis zenith, yakni garis yang
menghubungkan antara pengamat dengan pusat letak matahari ketika berada di titik
tertinggi (Istiwa). Secara teoretis, antara Istiwa dengan masuknya Zuhur
( z° )
membutuhkan waktu 2 menit, dan untuk faktor keamanan biasanya pada jadwal shalat waktu
Zuhur adalah 4 menit setelah Istiwa terjadi atau z=1°.
Waktu Ashar
Menurut Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, waktu Ashar diawali jika panjang
bayang-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Madzab
Imam Hanafi mendefinisikan waktu Ashar jika panjang bayang-bayang benda dua
kali melebihi panjang benda itu sendiri. Waktu Ashar dapat dihitung dengan
algoritma tertentu yang menggunakan trigonometri tiga dimensi. Secara astronomis
ketinggian matahari saat awal waktu Ashar dapat bervariasi tergantung posisi
gerak tahunan matahari/gerak musim. Di Indonesia khususnya Departemen Agama menganut
kriteria waktu Ashar adalah saat panjang bayangan = panjang benda + panjang
bayangan saat istiwa. Dengan demikian besarnya sudut tinggi matahari waktu Ashar
( a° ) bervariasi dari hari ke hari.
Waktu Maghrib
Diawali saat matahari terbenam
di ufuk sampai
hilangnya cahaya
merah di langit Barat.
Secara astronomis waktu maghrib dimulai saat seluruh piringan matahari
masuk ke horizon yang terlihat
(ufuk Mar'i / visible horizon) sampai waktu Isya yaitu saat kedudukan matahari sebesar i° di bawah horizon
Barat. Di Indonesia khususnya Departemen Agama menganut kriteria sudut
i=18° di bawah horison Barat.
Waktu ‘Isya
Diawali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit Barat, hingga
terbitnya Fajar Shiddiq di Langit Timur. Secara astronomis, waktu Isya
merupakan kebalikan dari waktu Subuh yaitu dimulai saat kedudukan matahari
sebesar i° di
bawah horizon Barat sampai sebelum posisi matahari sebesar
s° di bawah horizon Timur.
Waktu Imsak
adalah awal waktu berpuasa.
Diawali 10 menit sebelum Waktu
Subuh dan berakhir saat Waktu Subuh. Ijtihad 10 menit adalah perkiraan waktu
saat Rasulullah membaca Al Qur'an sebanyak 50 ayat waktu itu.
Demi menjaga "keamanan" terhadap jadwal
waktu shalat yang biasanya diberlakukan untuk suatu kawasan tertentu, maka dalam
hal ini setiap awal waktu shalat menggunakan kaidah "ihtiyati" yaitu menambahkan
beberapa menit dari waktu yang sebenarnya. Besarnya ihtiyati ini biasanya
ditambahkan 2 menit di awal waktu shalat dan dikurangkan 2 menit sebelum akhir
waktu shalat.
Akibat pergerakan semu matahari 23,5° ke
Utara dan 23,5° ke Selatan selama periode 1 tahun, waktu-waktu tersebut bergesar
dari hari-kehari. Akibatnya saat waktu shalat juga mengalami perubahan. oleh
sebab itulah jadwal waktu shalat disusun untuk kurun waktu selama 1 tahun dan
dapat dipergunakan lagi pada tahun berikutnya. Selain itu posisi atau letak
geografis serta ketinggian tempat juga mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut di
atas.
Diagram Waktu Shalat berdasarkan posisi
matahari
Berdasarkan konsep waktu menggunakan posisi
matahari secara astronomis para ahli kini berusaha membuat rumus waktu shalart berdasarkan
letak geografis dan ketinggian suatu tempat di permukaan bumi dalam bentuk
sebuah program komputer yang dapat menghasilkan sebuah tabulasi data secara
akurat dalam sebuah "Jadwal Waktu Shalat". Kini software waktu shalat terus
dibuat dan dikembangkan diantaranya: Accurate Times, Athan Software, Prayer
Times, Mawaqit, Shalat Time dsb. serta software produksi BHR Departemen Agama
yang disebarluaskan secara nasional yaitu Winhisab. Program ini
masih terlalu sederhana untuk kelas Nasional dan saya yakin BHR bisa membuat
yang lebih baik lagi.
Waktu Shalat Sunah
Tidak semua shalat
sunah mempunyai waktu tertentu melainkan beberapa
shalat sunah sudah diatur
waktunya. Waktu-waktunya adalah mengikuti
waktu shalat yang dianjarkan
Nabi Muhammad s.a.w. Diantara shalat
sunah yang dilakukan mengikuti
waktu tertentu adalah:
-
Shalat Dhuha - dilakukan ketika waktu matahari baru naik (mengikut pandangan beberapa ulama, pada ketinggian segalah atau tujuh hasta) atau sekitar 3,5° ketinggian Matahari.
-
Shalat Ied - dilakukan pada waktu pagi hari raya yang pertama bagi kedu jenis hari raya tersebut, umumnya dilakukan pada waktu Dhuha yaitu waktu matahari baru naik (mengikut pandangan sebagian ulama, pada ketinggian segalah)
-
Shalat Tarawih - dilakukan pada waktu Isya' (umumnya dilakukan selepas Shalat Isya' sebelum kemunculan waktu imsak)
-
Shalat Sunat Gerhana - dilakukan pada waktu gerhana (matahari atau bulan) sedang terjadi.
-
Shalat Sunat Rawatib - dilakukan sebelum dan selepas solat fardhu. Tidak semua solat mempunyai kedua-dua solat sunat.
Waktu Haram Shalat
Berikut adalah waktu yang diharamkan solat (sebagian
ulama mengatakan berlaku bagi selain tanah
haram):
-
Waktu selepas shalat Subuh hingga terbit matahari.
-
Waktu mulai terbit matahari (syuruk) hingga matahari berada di kedudukan pada kadar segalah (tujuh hasta).
-
Waktu rambang (zawal, istiwa, rembah) atau waktu tengahari (matahari tegak) hingga gelincir matahari kecuali hari Jumaat.
-
Waktu selepas shalat Asar hingga matahari kekuningan.
-
Waktu matahari kekuningan hingga matahari terbenam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !