Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan IslamDemak.
Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab
Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya
yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI
adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri
Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Semasa hidupnya, ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah
menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang
meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus
melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai
di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan
ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian
ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun,
tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H.
Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari
bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah
suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di
Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa
seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari
mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan
Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat
belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya
meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga
bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak
mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di
Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah
Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan
pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung
halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam
waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
KARYA-KARYANYA
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang
merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya,
ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah,
Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi
Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli
Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis
di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat,
dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi
jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak
orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai
Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti
al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim
Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan
peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil
ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah
sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan
kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun
hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim
Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya
literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu
pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur
sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang
luhur pula
PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada
para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada
masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja
satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang
mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan
berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah
at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut
Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi
tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.
Ketika organisasi sosial keagamaan
masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai
ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad
Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh
utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3
kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai
organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai
Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
MENGENAI PENDIDIKAN :
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120
H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam
menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian
pesantren relatif ramai dan terkenal
NAHDATUL ULAMA :
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan
tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul
Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan
banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai
salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang,
Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan
penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan
kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
KESIMPULAN :
Dari pemaparan di atas, dapatlah
diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan
organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga
menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah
pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari
yang kemudian dikenal dengan sebutanHadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar
dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang
berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun
aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk
menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh
utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Di persentasikan oleh Medina Ulfah,
mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Universitas Negeri Jakarta Program
Studi Komunikasi Penyiran Islam dalam mata kuliah Psikologi Dakwah
2010.
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah
Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah
desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu
Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan IslamDemak.
Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab
Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya
yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI
adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri
Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Semasa hidupnya, ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah
menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang
meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus
melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai
di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan
ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian
ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun,
tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H.
Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari
bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah
suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di
Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa
seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari
mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan
Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat
belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya
meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga
bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak
mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di
Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah
Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan
pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung
halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam
waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
KARYA-KARYANYA
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang
merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya,
ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah,
Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi
Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli
Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis
di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat,
dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi
jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak
orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai
Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti
al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim
Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan
peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil
ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah
sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan
kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun
hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim
Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya
literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu
pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur
sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang
luhur pula
PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada
para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada
masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja
satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang
mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan
berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah
at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut
Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi
tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.
Ketika organisasi sosial keagamaan
masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai
ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad
Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh
utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3
kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai
organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai
Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
MENGENAI PENDIDIKAN :
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120
H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam
menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian
pesantren relatif ramai dan terkenal
NAHDATUL ULAMA :
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan
tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul
Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan
banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai
salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang,
Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan
penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan
kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
KESIMPULAN :
Dari pemaparan di atas, dapatlah
diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan
organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga
menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah
pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari
yang kemudian dikenal dengan sebutanHadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar
dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang
berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun
aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk
menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh
utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Di persentasikan oleh Medina Ulfah,
mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Universitas Negeri Jakarta Program
Studi Komunikasi Penyiran Islam dalam mata kuliah Psikologi Dakwah
2010.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !